Cerita Rakyat Tentang Bekas Tapak Tunggang Malaikat Di Sungai Giring Patar Selamat Sangkapura Bawean
Keberadaan Kampung Sungaigiring selalu menjadi bahan perbincangan menarik untuk diketahui lebih jauh seluk-beluknya. Untuk sampai ke kampung yang berada di sebelah utara Kota Sangkapura ini harus nelintasi jalan di tengah persawahan menanjak melalui Kampung Gunung-Gunung atau Kampung Gunung Kembar terus ke utara.
Jalan makadam yang berupa jalan beton coran itu melintas berkelok di tengah persawahan menuju Kampung Sungaigiring setelah sejenak melewati jalan Kampung Gunung-Gunung. Jalan paling utara di kawasan gunung Ki Gaib terdapat jalan simpang dua ke kiri dan ke kanan. Belekon menanjak di sebelah kiri akan tembus ke masjid Kampung Menara yang dulunya bernama Kampung Kalompek.
Fonem pada nama kata "Kalompek" dibunyikan taling seperti bunyi fonem {e} pada kata "nenek". Nama Kalompek disematkan pada nama sebuah pohon. Karena dianggap konotasi makna dan bunyi dari kata "Kalompek" kurang sedap dalam pendengaran maka warga sepakat bulat mengubah nama kampungnya menjadi Kampung Menara. Secara dejure perubahan nama Kampung Kalompek menjadi nama Kampung Menara sudah ber-SK bahkan. Apalagi warga Sangkapura kota kerap "mengolok-ngolok" dan selalu mencandainya dengan sebuah karmina atau pantun kilat setiap bertemu warga Kalompek kala itu dengan pemeo "Kalompek Menara, ......takepek......merah."
Hampir semua fonem {e} pada pantun kilat atau karmina di atas dibunyikan "taling" seperti bunyi fonem {e} pada kata "nenek", kecuali fonem {e} pada kata nama "Menara" yang dibunyikan "pepet" seperti bunyi fonem{e} pada kata "telah". Sedangkan jalan yang menikung ke kanan sedikit agak landai menurun akan memasuki jalan menuju Kampung Sungaigiring. Jalan lebar yang melintas di sebelah barat kampung tersebut juga menjadi perlintasan alternatif warga Kampung Menara Desa Gunung Teguh bila hendak turun datang ke Sangkapura Kota.
Umumnya, di masa silam warga Desa Gunung Teguh dan warga Desa Patarselamat yang tinggal di perbukitan dan pergunungan cukup berjalan kaki menuju pasar Sangkapura. Di kepala dan pundak mereka terbawa barang-barang jualan hasil alam yang berlimpah. Kedua warga desa tesebut terlihat sehat dan tegar berkat gerak naik turun jalan kehidupannya. Seiring dengan sentuhan kemajuan zaman dan taraf kehidupan warganya saat ini sudah tiada lagi warga yang "aluk-luk" atau berjalan kaki bila hendak turun ke Sangkapura kota. Kendaraan roda dua dan roda empat telah menggantikan kekuatan kaki mereka dalam menapaki perjalanan hari-harinya dalam memenuhi kehidupan hidupnya.
Percabangan jalan dari arah Sangkapura di tikungan sebelah kanan dekat gunung Ki Gaib yang berupa bukit kapur ini merupakan jalan yang akan memasuki Kampung Sungaigiring Desa Patarselamat Kecamatan Sangkapura Kabupaten Gresik Jawa Timur. Jalan beton selebar hampir tiga meter itu berada di tepian persawahan bersengked. Di tepi jalan awal memasuki Kampung Sungaigiring akan dijumpai barisan rumpun bambu kuning yang tumbuh terawat. Sampai di sebuah jembatan mamasuki Kampung Sungaigiring terdapat aliran dua sungai yang berdampingan.
Airnya mengalir beriring pula seperti berpacu menuju dasar terendah dari bagian alam yang dilaluinya. Di situlah akan terdengar gemerincik bunyi air yang terjun mengalir menyelinap di antara bongkahan batu besar di hampir sepanjang batangnya. Suara kemerduan alam dari percikan air pegunungan itu membuat Kampung Sungaigiring terasa suasana kealamannya. Kicau burung murai dan kokok ayam kampung yang bersahutan seperti akrab menyapa saja. Sesekali embun putih di salah satu dahan pohon kerap turun menuju bebatuan di pagi hari. Kesejukan alam Kampung Sungaigiring terasa menggoda hati untuk berbetah-betah datang ke sana. Keteraturan susunan rumah di puncak bukitnya menjadi pemandangan asrinya alam pedesaan dengan rindangan segala pohon lindung yang menaunginya. Batang pohon kopi dan tanaman rumah tangga lainnya tumbuh subur rampak daunnya.
Awal keberadaan warga Kampung Sungaigiring mendiami pertanahan bukit di bagian barat dari kedua sungainya. Beberapa lama kemudian mereka berpindah ke sebelah timur yang berupa perbukitan beralas. Perambahan hutan menjadi perumahan warga dimulai sejak meletusnya gerakan 30/S/ PKI atau sekitar tahun 1965. Kala itu adanya rumah di sana baru enam kepala keluarga dengan rumah yang amat sederhana. Ancaman mengebahnya dua air sungai menjadi perhitungan warga Kampung Sungaigiring untuk bereksodus ke sebuah alam perbukitan yang kini menjadi sebuah perkampungan. Siapa saja yang hendak bertandang masuk ke Kampung Sungaigiring harus bisa menikung maut seraya menajak pada jalan belokan tajamnya. Saat ini jumlah rumah sudah mencapai 35 kediaman dengan hampir keseluruhannya merupakan bangunan tembok permanen. Di kampung mungil ini juga berdiri langgar "Nurul Kamal" yang seluruh pendanaan pembangunan dan pengembangannya berasal dari sokongan dana partikelir yakni amal jariyah dari warga Kampung Sungaigiring yang menetap di Malaysia dan Australia. Sebagian juga dananya berasal dari uluran tangan dari warga setempat yang merantau dan melanglang buana ke antero negeri jiran lainnya. Bangunan langgar "Nurul Kamal" ini tergolong elit dengan dinding keseluruhannya berlapis keramik berkelas. Pagar yang mengitari teras langgar juga berbahan besi pilihan yang cukup wah adanya.
Selama ini khalayak ramai dibuat penasaran dengan nama asal Kampung Sungaigiring. Menurut sumber lisan yang disampaikan oleh Bapak Fi'an dengan nama lengkapnya Tasfianni menerangkan bahwa kampung ini memang seperti digiring oleh beberapa sungai, baik yang berada di sebelah utara, timur, selatan, dan barat kampungnya. Ibarat sebuah daratan, Kampung Sungaigiring dapat dikatakan sebuah delta yang letaknya di sebuah perbukitan. Mayoritas penduduk warga kampung ini bekerja sebagai petani persawahan dan pertegalan. Ketercukupan sumber irigasi menjadikan lahan persawahannya dapat dikelolah dua kali dalam semusim. Selebihnya dimanfaatkan untuk kegiatan perkacangan dan perkangkongan serta meyelingnya dengan kegitan tambahan nebeng menitip tanaman tumpang sari yang begitu menjanjikan hasil panennya. Dalam bercocok tanam padi, sebagian warga dulunya masih menganut ajaran animisme dan dinamisme yakni percara terhadap adanya "dewa padi" sehingga setiap hendak turun bercocok tanam diadakan upacara ritual penyajian sebuah "sesajen" berisi nasi kuning, ayam panggang bumbu sapit, telur rebus, serta makanan khas tujuh rupa. Atas retasan tauhid dari Kiai Wadi maka dilarang hal itu dilakukan karena berbau hurafat yang akan menjerumuskan mereka pada jurang kemusyrikan. Sejak itulah warga Kampung Sungaigiring sudah tidak melakukannya lagi hingga saat ini.
Tempat unik yang belum banyak terendus oleh warga kebanyakan bahwa di sebelah utara jalan menikung menuju Kampung Menara pada lintasan jalan Kampung Sungaigiring terdapat batu pipih di badan jalannya bekas goresan kaki kuda atau burak dari Sang Malaikat. Di tengah batu itu terukir jelas bekas hentakan tapak kaki kuda yang pernah turun dan mengayuh di situ hendak meluncur terbang kembali ke langit. Kerap kali warga Sangkapura datang ke sana sekadar menyaksikan keajaiban batu yang ada di sebelah utara Kampung Sungaigiring. Jangan berpikir aneh dan mustahil terhadap keajaiban tersebut di atas karena bumi ini milik Sang Maha Pencipta sehingga utusan makhluknya berwujud malaikat bisa turun di bumi mana saja, termasuk di jalan tikungan antara Kampung Sungaigiring dengan Kampung Menara. Termasuk pada malam-malam "Laitul Qodar" di bulan suci Ramadhan, malaikat turun ke bumi untuk menyampaikan seribu keberkahan yang terkadang saat turunnya tak terlihat oleh mata bugil manusia kebanyakan. Kini, batu itu lenyap seiring dengan laju pembangunan berupa jalan yang sudah diaspal dan dibeton di kemudiannya jalan tersebut. "Emannya ya!"
Hasil kerajianan tangan kreatif yang terdapat di sana sampai saat ini berupa salah satu pusat pengrajin ukiran kayu dan meubel berkualitas di Kampung Sungaigiring. Selamat datang dan bertandang di kampung penuh kenangan di masa silam. Cerita ini di kutip dari Bapak Sugri Yanto seorang Guru di Pulau bawean.