Mantan Preman Roni Bodax Hadir Di Acara Hafidz Indonesia 2019
Saat kita mengikuti suatu pengajian, sebagian besar dari kita semua tentu akan bertemu ustad dengan sebuah penampilan yang bersih dan rapi. Namun lain halnya dengan ustad dari kelahiran kota Solo yang berumur 22 tahun, yang bernama Roni Bodax. Pria yang tidak lulus SMP itu sekujur tubuhnya dipenuhi tato.
Kaki, tangan, wajah, kepala, bahkan mata kiri Roni memiliki gambar tato. Meski begitu, Roni tak pernah putus asa akan menyampaikan dan mensyiarkan ajaran Islam kepada kalangan semua anak jalanan dan preman yang semuanya gemar akan mabuk dan mencicipi narkoba. Setelah berhijrah beberapa tahun yang lalu, Roni Bodax mengubah total penampilannya dan mulai mendekati anjal (anak jalanan) serta preman di setiap sudut Kota Solo untuk turut juga berhijrah seperti Roni Bodax.
Melalui channel youtube milik Hafiz Indonesia, Roni menceritakan sedikit kisahnya saat mulai berhijrah dan meninggalkan kenakalannya di waktu masih remaja. Roni Bodax juga bercerita suka dukanya saat memilih berhijrah. Terutama dengan pandangan miring dari orang lain ketika Roni memilih beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Swt di masjid.
"Ya begitulah. Pandangan miring dan hujatan dari orang banyak. Katanya sholat saya tidak sah karena tato yang terdapat pada diri saya. Tapi saya tetap berkeyakinan jika yang menilai ibadah kita yaitu Allah SWT, bukan marbot masjid ataupun jamaah salat yang lain," kata Roni sebagaimana perbincangan berdurasi lebih dari 21 menit yang diunggah pada 22 November 2018 lalu.
Roni memulai kisahnya saat masih duduk di kelas 7 SMP. Saat itu, dia sekolah di sekolah Islam, namun bergaul dengan lingkungan luar sekolah. Saat itu, teman-temannya banyak dari kalangan luar dan anak punk. Dari pergaulan itulah, Roni mulai mengenal minuman keras (miras). Setelah mengenal miras, ia mulai mengenal tato.
Saat pertama membuat tato, alasannya adalah untuk menutup bekas luka karena knalpot di kaki kirinya. Namun lama-kelamaan, ia terus-menerus menato sekujur tubuhnya, terutama dalam keadaan sedang kalut. Hingga akhirnya, kini tak ada lagi ruang di tubuhnya untuk kembali ditato.
Kenakalannya pun mulai tampak saat ia duduk di bangku kelas 8. Waktu itu ia sering berkelahi dengan teman sekolah dan di luar sekolah. Tato yang ia miliki pun mulai diketahui teman-temannya. Roni menjadi disegani oleh teman sebayanya dan tak pernah mendapat perlakuan buruk. Namun akhirnya ia pindah ke sekolah lain yang juga merupakan sekolahh Islam dan hanya bertahan beberapa bulan.
"Setelah itu. saya tidak sekolah. hanya bertahan hingga kelas dua saja, lalu putus sekah," ungkapnya.
Segala jenis narkoba pun sudah ia coba sejak usianya masih belia. Hingga akhirnya, ia memilih untuk kembali berhijrah pasca-ayahandanya meninggal dunia 2015 lalu. Saat itu, sang ayah meninggal lantaran sakit saat berada di Jakarta. Ibunda Roni pun membawa jenazah untuk dimakamkan di kampung halaman.
Namun setelah pemakaman, ibunda Roni memilih kembali ke Jakarta dan enggan tinggal di Solo. Hingga beberapa bulan kemudian, sang ibu menelepon Roni dan menyampaikan untuk kembali ke Solo. Dalam percakapan yang dilakukan itu, ibundanya tersebut meminta agar Roni kembali mengerjakan salat lima waktu dan mengaji.
"Saya berhijrah tiba-tiba. Sebenarnya sudah lama saya pikirkan. Tapi benar-benar mantap setelah mendengar ucapan ibu saya," kenangnya.
Menurut Roni, kesempatan untuk berhijrah ibarat sebuah permata. Kesempatan tersebut harus segera diambil dan tidak bisa dilepaskan begitu saja. Dia pun merasa sangat bersyukur dapat berhijrah dan kembali menjalani syariat Islam. Kini dia semakin bersyukur dengan segala pengalaman hidup yang didapatkannya.
Sekarang Roni sudah diberi kesempatan untuk berubah dan menemukan jalan untuk berdakwah. Baginya, itu adalah bonus hidup yang sangat tak ternilai harganya. "Meski diberi pilihan untuk tidak melakukannya jika ada kesempatan kedua, saya tetap bersyukur dengan jalan yang saya lalui sekarang dan bertemu dengan jalan dakwah," ujar dia.
Memiliki pengalaman pahit dan pola pikir memberontak di jalanan, Roni pun memiliki metode yang berbeda saat berdakwah di lingkungan jalan. Dia tak melakukannya di atas mimbar, tapi berdakwah di sepanjang jalan. Secara perlahan dia mendekati komunitas anak punk dan anak jalanan dan mengajak mereka berhijrah.
Dalam berdakwah, Roni memulai dengan obrolan ringan serta ngopi di pinggir jalan. Setelah mengetahui karakter masing-masing orang, dia mulai menggiring kelompok tersebut untuk melaksanakan salat berjamaah. Kini, tak sedikit anjal di beberapa sudut Solo yang mulai mengubah penampilan serta lebih religius.
"Pancing aja ajak ngopi di dekat masjid. Saat azan berkumandang, ajak mereka salat jamaah. Pasti ada yang mau," ucap Roni.
Mengajak berhijrah anjal dan pemabuk, menurut dia, memang tidak bisa langsung begitu saja. Butuh pendekatan agar mereka berubah dengan sendirinya. Kini, anjal dan preman yang didekatinya pun sudah mulai berubah secara penampilan fisik. Rambut gimbal dan panjang dipotong tanpa permintaan siapa pun. Mereka juga mulai mengenakan celana panjang dan baju gamis.
"Saya biarkan saja mereka berubah sendiri. Ketika ditekan, akan sangat tidak bagus. Kalau ada baju tak digunakan oleh jamaah, biasanya saya minta dan kasihkan ke mereka (anjal dan preman). Mau digunakan terserah, kalau tidak juga terserah," tambah Roni.
Dengan gayanya yang santai itu, Roni menyampaikan jika keinginan berhijrah harus dimulai dari diri sendiri. Ketika benar-benar ingin berubah, maka harus meninggalkan lingkungan yang membawanya dalam kehidupan maksiat seperti mabuk-mabukan, main wanita, dan narkoba. Sebelum keluar dari lingkungan tersebut, mustahil bagi seseorang untuk berubah.
"Minimal nongkrong aja di dekat masjid, sampai ada yang mengajak untuk salat berjamaah. Kita nggak tahu kapan hidup kita akan berakhir. Bisa saja sebelum atau setelah salat Asar nanti kita dipanggil," pungkasnya.
Lihat di link di bawah ini:
Sumber :
Jangan lupa untuk kalian para pecinta al-qur'an untuk subcribe channel Hafiz Indonesia dan juga jangan lupa kalian sumbangkan Sukai Halaman pada fans page Hafidz Indonesia 2019.